:: satu nama yang sama dalam tempat berbeda (1).
Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin berhenti dan turun dari angkot di jalan ini.
“Kiri… kiri, bang!”
“Nanti, didepan!”
Angkot yang kutumpangi berhenti tepat didepan sebuah Restoran Baso Malang. Aku turun dan berjalan menelusuri trotoar. Sambil melihat-lihat barang di etalase pertokoan.
Jalan-jalan sendiri sangat menjemukan, tak ada teman ngobrol atau malah “hulang-huleng” tidak karuan. Aku coba mengingat ketika aku sering tugas luar lima tahun lalu, dijalan ini aku sering berjalan sendirian pula. Tas yang aku gendong masih tas ini, hanya dulu aku begitu menikmatinya dan begitu bahagia. Ketika tiba-tiba terbayang mobil sedan silver, yang sedang parkir didepan toko kue menjadi milikku! Aku senyum-senyum sendiri dan langsung kaget, ketika tukang parkir meniup pluit tepat disampingku. Melangkah, kemudian duduk-duduk dipinggir jalan dekat kios rokok, minum teh botol dan merokok sebentar. Aku berjalan dan kemudian duduk-duduk disini dan ibu warung ketika itu menyuruhku untuk duduk dibangku, jangan di trotoar karena kepanasan.
Sekarang aku masih berdiri ditrotoar, kepanasan. Dan tak ada yang menyuruhku duduk. Serasa napak tilas, bangku yang lima tahun lalu aku duduki masih utuh, rantai yang mengikat kepohon masih yang itu hanya sekarang sudah kelihatan lapuk dan kusam.
Aku memandang ke warung, seorang ibu muda menyusui anak tampak didalamnya, bukan si ibu yang dulu mengisi kios ini.
Kemana ibu Ching ya? Aku menanya sendiri. Ah, mungkin sudah tidak jualan lagi, sekarang sudah bahagia sebab dulu pernah berkata padaku bahwa suatu nanti dia akan punya menantu pengusaha sesama etnisnya dan akan mengajaknya liburan atau mungkin sekaligus tinggal dikampung halamannya dulu, menikmati hari tua. Aku ingat beberapa kali mengatakan padaku bahwa aku tidak usah memanggilnya enci, panggil saja ibu, katanya.
“Mbak, ada teh botol dingin?” aku menghampiri kios sambil duduk dibangku.
“Ada, sebentar ya,” menengok ke luar, “Bang, teh botol satu” Si Abang seragam parkir mengambil teh botol dan membukanya.
“Ini” menyerahkannya padaku. Setelah kutatap sebentar, aku jadi ingat, dia dulu tukang parkir itu, yang meniup pluit disampingku, benar dia…
Aku teguk hampir setengah botol, terasa sedikit segar dibadan. Ku buka tas dan mengambil rokok.
Ada banyak perubahan dijalan ini, kendaraan semakin penuh, debu berterbangan bercampur suara klakson yang terburu-buru, bising sekali saat ini tapi lamunanku lima tahun lalu membawa suasana adem dan tenang.
“Mau rotinya, Dik?” si Abang menawarkan, sambil duduk disampingku, membuka roti dan makan dengan lahapnya.
“Nggak, bang, numpang duduk saja boleh?”
“Silahkan, silahkan” sahutnya singkat.
Beberapa menit terdiam. Sebenarnya aku ingin menanyakan ibu Ching, tapi sepertinya tidak bakalan tahu. Aku masih terdiam.
“Gerah sekali, ya Bang” aku menghembuskan asap rokok.
“Iya nih, pusing aku, macet begini malah tambah panas” sahutnya sambil berdiri dan pergi mengatur mobil yang masuk jalur parkir.
“Jam segini memang panas, apalagi sebentar lagi istirahat siang pasti tambah macet” si ibu warung menyahut obrolanku sambil selonjoran keluar kios. Aku terdiam lagi.
“Hmmm, Mbak, si abang itu suami mbak yah?” aku coba menanyakan.
“Iya, kenapa?”
“Ah nggak, kalo tidak salah dulu kios ini punya ibu Ching, sekarang kemana yah?”
“Kok kenal beliau?”
“Aku dulu sering istirahat disini biasanya sehabis ngantar film untuk cetak, tuh di kantor itu” aku menunjuk bangunan berlantai lima seberang kios.
“Ooh, Ini kios masih punya ibu Ching hanya semenjak kepindahan anaknya ke luar negeri, kios ini dititipkan ke si Abang, sekarang juga anaknya seringkali main ke sini sambil liburan” katanya menerangkan.
“Oh ya?” aku campur kaget, ternyata benar yang dikatakan ibunya dia akan pulang kampung dan hidup bahagia bersama anak dan menantunya, aku menarik nafas.
“Anaknya ibu Ching sangat baik, dia mau-maunya mampir ke tempat begini, padahal dia kan bos kantor itu” menunjuk ke bangunan yang tadi aku terangkan.
Mbak ini tidak tahu bahwa Lucia dulunya karyawan kantor itu, seminggu tiga kali aku sering menemuinya, canda tawa, ngobrol, bahkan jalan-jalan ke alun-alun setelah pulang kerja. Dan sempat beberapa kali dia main ke kantorku ketika sabtu siang, sampai akhirnya aku antar dia pulang ke rumahnya di Kopo.
“Luciana Dewi?” tanyaku campur berdebar.
Si abang menghampiri, duduk dan ngobrol-ngobrol tentang ibu Ching. Sudah hampir setahun terakhir anaknya tidak lagi ke sini, katanya dia suka menanyakan seorang laki-laki sahabatnya dan meminta si abang menemukan sahabatnya itu, dan berpesan agar jangan sampai karyawannya tahu. Tapi si abang tidak tahu yang dia cari aku sendiri dan baru sekarang saja aku bertemu lagi dengan si abang itu. Itupun jika dia tidak menanyakan namaku mungkin tidak pernah tahu. Memang semenjak pertemuan pada malam terakhir di kios ini, aku tidak pernah mampir lagi ditempat ini, sampai tiga bulan selanjutnya aku terpaksa keluar kerja dan berpindah-pindah tempat.
“Eh Bang, bukannya dulu pernah nitip surat?” tanyanya ke si Abang.
“Oh, iya ya, tapi dimana suratnya?” menengok isterinya sambil masuk ke kios.
Lama dia bongkar-bongkar tumpukan dus dibantu isterinya, aku hanya diam dan melongo memperhatikan pencarian surat.
“Ini, nih belakang bingkai foto” si Abang terburu-buru membongkar bingkai foto pernikahan dia, kemudian menyerahkan selembar amplop kusam padaku. Aku segera membukanya.
Kop surat dengan tulisan kanji tapi alamatnya dengan tulisan latin, tertanggal tahun lalu. Aku segera membaca,
“Syalom aleikhem”
“Kanda, aku harap engkau dapat menemukan surat ini segera, sekali lagi, aku mohon maaf yang sangat! jika memang nasib kita harus seperti ini, aku tak mau engkau menderita dan terluka. Begitupun aku, saat ini aku terpenjara sendiri di sebuah negeri asing tirai bambu, Xi’an. Setiap aku liburan, aku selalu menelpon atau datang ke kantor tempatmu kerja, katanya sudah tidak disana, aku masih mencarimu, Kanda…”
“Takdir yang mengharuskan kita berpisah dan menantang keinginan. Walau hatiku terus mengingatmu, mencintaimu… banyak sekali hal yang terus membayangi hari-hari kita. Aku terus berdoa, doa yang berkali-kali engkau ajarkan padaku, doa untuk lintas keyakinan; ”Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah wakinaa Adza bannar..” maaf, kalau salah tulis, tapi aku yakin maksudnya.”
“Aku selalu membacanya tiap aku sembahyang di Vihara dan ketika aku akan tidur, tak pernah lupa! Bukan keyakinan yang membatasi kita kan?
“Keinginan dari yang melahirkanku harus aku turuti walau beliau tak pernah menikmatinya, dan akupun tersiksa dengan materi warisan suamiku, bertumpuk kekayaan yang tak pernah membuatku bahagia, untuk apa?”
“Kanda, sungguh aku ingin engkau tahu, bayang-bayang perjalanan kita ke sebuah mesjid kecil selalu aku ingat, kau sembahyang sore dan aku menunggu di depan mesjid dan kemudian engkau memberikan uang padaku untuk aku masukkan dalam kotak amal sambil engkau berucap; …kebaikan ini untuk kita jemput bersama menjadi sebuah kebahagiaan diakhir kelak…”.
“Kanda, seperti cita-citamu, kop dari surat ini huruf kanji yang bertuliskan YRM, betapa aku ingin mewujudkan cita-cita kita untuk membangunnya. Mungkin buku-buku dirakmu sudah ribuan atau bahkan sudah terbentuk satu nama yang sama dalam tempat berbeda, Yayasan Riung Mungpulung?”
Aku membuka lembaran selanjutnya, ingatanku mencari-cari bayangan wajah dia setelah sekian lama aku paksa lupakan. Hingga aku tak mau lagi melewati jalan ini. Hampir lima tahun!
“Kanda, bagaimana aku dapat hidup tenang, sedang aku sendiri dibingkai bayangmu, materi tidak menjamin apa yang aku inginkan… Aku hanya menginginkan engkau mengajarkanku isi dari huruf-huruf yang ada dalam kitabsucimu, setiap hari, setiap waktu, seumur hidupku… tapi kapan???
“Tahun depan, mungkin aku akan liburan untuk selamanya ke Indonesia sekalian membereskan surat-surat keimigrasian yang telah disetujui pemerintah. Jika kita ditakdirkan untuk tidak ketemu, aku akan berusaha kembali lagi ke Xi’an untuk mengurus YRM seumur hidupku… Aku berharap engkau mau menemuiku, si penghianat ini!
“Syalom aleikhem, Om santi, santi, Santi om”, Yang selalu mencintaimu, Luciana Dewi.
Aku melipat kertas, memasukkan kembali dalam amplop dan termenung. Bising mobil terasa lebih gaduh, kepalaku langsung pusing, otak terasa lelah, berbagai rasa mengaduk-aduk hatiku, bayangan calon kekasihku dan Lucia memberondong fikiranku silih berganti. Aku meneguk kembali teh botol sampai habis.
Si abang sibuk memarkirkan mobil sementara isterinya terdiam menunggu apa yang akan aku ucapkan.
“Hubungi aku jika dia datang lagi kemari” kataku menyerahkan kartu namaku pada isteri si abang.
Setelah bayar aku pamit dan langsung menyetop angkot. Singkat sekali apa yang aku ucapkan.
***
Hari Minggu yang teduh, pukul 09.45 pagi, aku baru berada di gerbang pemakaman umum Cikadut, memutuskan untuk menyelesaikan salah satu tugas suci ini dalam kondisi sepahit apapun.
Aku melihat sedan silver parkir dipaling belakang. Aku cocokkan nomor mobilnya, kemudian pergi ke dalam komplek kuburan cina. Aku tatap satu persatu pengunjung, aku melihat dari belakang si abang parkir menggendong anak kecil berumur sekira tiga tahunan ditangga atas bersama perempuan muda. Aku menebak dia Lucia, mempercepat langkahku dan memilih jalan pintas menuju ujung komplek.
Sedikit mengintip, aku melihat dia membakar dupa dan berdoa di sebuah kuburan megah, dengan dua altar putih menjulang, sepintas seperti mesjid kecil, entah siapa yang merancangnya. Benar, kau dinda! ingin aku loncat dari tangga ini dan berlari ke arahmu. Duh, engkau seperti lima tahun lalu! Tetap cantik tak berubah, dadaku berdebar kencang. Anak kecil yang digendong si Abang tiba-tiba melihatku, aku coba tatap dalam-dalam, dia senyum, lucu sekali anaknya. Kemudian dia turun dari gendongan si abang.
Perlahan jalan mundur dan menghampiri, aku jadi bingung, aku tidak bisa bahasa mandarin. Aku turun tangga menyambut anak itu sambil mengulurkan tangan.
“Ssst, siapa namanya?” aku coba tanya pelan.
“Luqman” jawabnya sambil memegang tanganku.
Aku kaget, bisa mengerti bahasa Indonesia, kok bisa sama namanya dengan ku?. Kenapa dia memberinya namaku pada anaknya?
Kemudian aku gendong, anak ini terdiam, kedua tangannya memegang dupa yang belum dibakar. Aku berjalan perlahan kemudian berdiri terdiam.
Tiba-tiba aku ingin berhenti, selangkah lagi menuruni tangga sebelum sampai ke bawah…
Dia melihatku, tertegun dan menjatuhkan dupanya sambil berteriak…
“Luqman Al Hakim…!!!?”
(Juli-August ‘05) Zzz | 180705
Tinggalkan komentar